Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.
“La ilaha illallahu wallahu akbar...” Aku menyenandungkan takbir dengan rasa yang kosong. Seharusnya ini menjadi sukacita untukku. Dimalam terakhir bulan ramadhan ini, aku merasakan sesuatu yang tak biasa.
Padahal tahun ini sama seperti tahun-tahun kemarin. Namun rasanya sangat kosong, bukankah seharusnya aku sudah terbiasa, bukankah aku seharusnya bisa menerima semua ini. Tapi kenapa rasanya kali ini sangat sulit untukku lakukan seperti biasa.
Ternyata rasa terbiasa itu tidak lekat kurung waktu yang lama, meski sudah lama, rasanya tetap tertinggal. Sepi dimalam hari menjelang idul fitri yang ramai.
Kembali keberpuluh tahun yang lalu, Ayah meninggalkanku dan ibu sejak aku memasuki sekolah dasar. Beliau memilih untuk memiliki keluarga baru. Waktuku kecil tentu aku tidak tahu apa alasan ayah tidak bersama ibu lagi, tapi seiring betambah usia, aku mengerti kenapa mereka berdua harus berpisah. Hubungan yang hanya salah satunya saja yang berjuang akan sangat melelahkan dan penuh luka. Ibu melepaskan ayah untuk kebahagiaan ayah.
Lalu, ibu sudah lama berpulang, sejak aku mencoba keluar dari usia belasan. Ibu, sakit. Sakit yang diderita ibu sudah lama, beriring sejalannya waktu penyakit ibu bertambah parah. Awalnya ibu berjuang sendirian. Beliau tidak ingin berbagi denganku, minum obat sembunyi-sembunyi, tidak pernah terlihat lelah, selalu terlihat kuat dan segar. Yang kusadari saat diriku memperhatikan ibu yang selalu berias diri di depan meja riasnya. Ibu tidak pernah merias diri sebegitunya, memakai pewarna pipi, pewarna bibir yang terang, melukis alis. Karena biasanya ibu hanya akan menggunakan pelembab wajah dan pelembab bibir saja.
Sampai dititik ibu sudah tidak sanggup untuk mempertahankan apa yang menjadi kegiatan barunya. Aku menyadari ibu tidak baik-baik saja, ibu pingsan dalam keadaan kompor menyala dan aku yang baru saja pulang dari ujian masuk kuliah. Kalut, kupanggil tetangga sebelah rumah, meminta bantuan. Membawa ibu dalam keadaan tidak sadar ke rumah sakit adalah pertama bagiku, sebelumnya aku hanya mengantarkan ibu ke klinik ketika ibu memang tidak sehat. Bukan tidak sehat yang seperti ini.
Duduk di atas sofa ruang tengah sembari menonton televisi adalah kegiatanku akhir-akhir ini selama masa cuti lebaran. Aku merindukan ibu dan kembali tergenang ingatan saat aku memutuskan untuk mengikhlaskan ibu yang saat itu sedang berjuang diatas brangkar dengan alat-alat penopang hidupnya.
“Ibu, Ayu ikhlas.
“Ayu ikhlas kalau ibu bisa hidup tanpa rasa sakit.”
Bisikku saat itu menghasilkan senyum pada wajah ibu, diiringi dengan alat ekg yang berteriak nyaring, sedang memberitahukan kepada semua orang dalam ruangan itu, kalau ibu telah berpulang kepada pelukan Sang Pencipta.
Tangisku hampir meledak, kutahan sekuat tenaga. Tidak, aku tidak boleh menangis sekarang. Masih ada banyak hal yang harus kukerjakan sekarang. Setelah dokter mengumumkan waktu keberpulangan ibu, segera aku menuntaskan semua hal yang harus dilakukan di rumah sakit ini. Cepat-cepat, aku ingin ibu segera disemanyamkan di tempat pemakaman sekitar rumah.
Ibu langsung dishalatkan di masjid dekat rumah, para tetangga menyambutku dengan hangat, memeluk diriku sembari menuntunku menuju pusara ibu.
“Ayu, semangat, ya. Ibu udah tenang sekarang.”
“Ayu, tadi tante masak sayur, Ayu nanti makan, ya. Tante taruh di atas meja makan, ya. Jangan lupa makan.”
“Ayu, terima kasih sudah menemani ibu.”
Masih kuingat ucapan-ucapan para ibu disekitarku setelah aku kembali ke rumah sehabis memakamkan ibu. Mereka yang bukan siapa-siapa, tidak ada mengalir darahku diantara mereka, sangat sebegitunya menyayangiku. Berbeda dengan ayah, beliau bahkan tidak menampakkan dirinya hari itu.
Aku sudah tidak ambil pusing dengan sikap ayah, sejak lama ayah memang sudah menjadi orang asing. Darah hanyalah sebuah formalitas untuk pengakuan, kalau ayah adalah ayahku, dan aku adalah anak ayah.
Tapi aku bohong jika aku tidak merindukan sosok ayah. Ketika sedang sepi seperti ini, ingin sekali rasanya untuk menghubungi ayah. Namun kutahan, ayah pasti sedang berbahagia dengan keluarganya. Dan sebagai anak yang berbakti, aku tidak boleh menghancurkan kebahagiaan orang tua.
Tersadar dari lamunan ketika pintu diketuk dan terbuka secara perlahan, menampilkan sosok sepuh yang berjalan dengan tongkat sambil tersenyum kearahku.
“Lagi ngapain, Yu?” Tanyanya padaku secara tersenyum hangat, membuatku merindukan ibu.
“Ini lagi nonton, Ni. Nini ada apa kesini?” Aku bertanya kepada Nini, Nini Asih adalah salah satu sepuh dilingkunganku. Beliau terlihat bugar walau dengan banyak kerutan disekitar area wajahnya, diumurnya yang sudah menginjak ke-80.
Nini duduk disampingku, memberikan sebuah kresek hitam yang tidak aku sadari, kalau nini datang sambil membawa sesuatu. Aku membuka kresek hitam itu, isinya ternyata kue kering.
“Ini buat Ayu. Kemarin Tante Melda bikin kue, trus kelupaan mau kasih kamu.” Nini tertawa jenaka, lupa merupakan lelucon untuk orang tua. Aku mau tidak mau terkekeh melihat Nini tertawa.
“Enggak usah repot-repot, Ni. Kan Tante Melda bikin kue buat Nini sekeluarga. Ayu juga beli kemarin.”
“Tante Melda emang sengaja sisihin buat Ayu masing-masing setoples, Ayu beli juga rasanya belum tentu sama kaya yang dibikin mantu Nini.” Nini membanggakan menantunya, aku hanya tersenyum menanggapinya.
“Ayu terima, ya, Ni. Makasih banyak udah repot-repot sisihin kue buat Ayu.
“Oh, iya. Nini mau kurma enggak? Kemarin Ayu ketemu temen Ayu yang pramugari, dia kasih Ayu kurma katanya langsung beli dari Arab.” Ucapku sambil berusaha meraih kantung belanja yang tergeletak diatas meja sebelah sofa yang kududuki, lantas segera membuka kantung belanja yang masih belum dibuka dari kemarin malam selepas berbuka puasa bersama. Kuberikan sekotak kurma yang masih tersegel kepada Nini, “Ini buat Nini aja, Ayu takut enggak kemakan.”
“Makasih, ya, Ayu, kurmanya. Nini udah, ah, mau pulang.” Nini menerima kurma yang kuberikan dengan wajah berseri-seri. Berdiri pelan-pelan dan berjalan menuju pintu untuk pulang ke rumahnya dengan membawa balik kresek hitam yang tadi nini bawa.
Selepas peninggalan nini, aku kembali sendiri.
Sepi, sumpah demi apapun aku tidak ingin seperti ini. Tapi apa yang harus kulakukan, teman-teman lingkunganku rata-rata sudah berkeluarga, bahkan yang dekat denganku pun sudah berkeluarga. Aku tidak ingin mengganggu hanya untuk mengajaknya main atau sekedar mengirim pesan.
Suara takbir terus berkumandang, kuputuskan untuk segera terlelap dalam mimpi, sembari berdoa semoga Tuhan mengabulkan doaku untuk dapat bertemu ibu, meskipun hanya dalam mimpi.
Tuhan, aku ingin bertemu ibu…